Opsinews.id, Jakarta – Guru Besar Hukum Pidana/Pengajar PPS Bidang Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Prof. DR. Indriyanto Seno Adji mengatakan, tindakan Polisi dalam penanganan tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022) lalu masih dalam batas-batas kewenangan yang dimiliki.
“Tindakan polisi Preventive Force yang Lawful Bukan Excessive Force baik SOP
sebagai Internal Rules maupun Hukum
Nasional (Pidana),” kata Prof Seno dalam rilis tertulis yang diterima, Rabu (5/10/2022).
Ia menilai, adanya tindakan pencopotan jabatan Kapolres dan beberapa perwira Brimob adalah terkait tindakan administratif disiplin (disciplinary administrative rules).
“Yang tentunya tidak terkait pelanggaran hukum, tidak terkait adanya excessive force yang unlawful,” tegasnya.
Menurutnya, keadaan darurat atau chaos menggunakan senjata gas air mata, yang justru harus dilakukan karena adanya picuan serangan atau ancaman yang variatif, yaitu serangan seketika itu yang melawan hukum terhadap petugas penegak hukum Polri dan para pemain/official Persebaya.
“Kericuhan diantara para supporter (pembakaran kendaraan Polri dan pribadi) yang karenanya tindakan preventive force yang proporsionalitas dan subsidaritas adalah tindakan yang justru dibenarkan secara hukum (Lawfull),” tuturnya.
Bahkan, pola dan karakter chaos pada saat selesaianya sepak bola itu memang sangat kuat diduga melakukan aksinya secara anarkis dan telah menimbulkan chaos, baik limitatif maupun ekstensif masif, dan apalagi sudah melakukan perlawanan terhadap Polisi sebagai aparatur kekuasaan di bidang keamanan dan ketertiban umum.
“Polri memiliki kewenangan maupun diskresi (wetmatigheid dan Doelmatigheid) untuk melakukan tindakan hukum dengan berbasis dan bernilai secara proporsionalitas dan subsidiaritas, yang dalam pemahaman implementatif adalah tindakan tegas dan terukur,” tuturnya.
Ada polemik mengenai legitimasi dan levelitas antara regulasi FIFA dan Hukum Nasional mengenai dampak picuan penggunaan gas air mata.
“Kedua aturan ini, FIFA dan Hukum Nasional memiliki relasi dan integritas yg saling mengisi, namun haruslah dipahami bahwa “the sovereignty of national law is the supreme law”. Haruslah diakui bahwa Kedaulatan Hukum Nasional harus diapresiasi sebagai hukum tertinggi,” ucapnya.
“Bahkan Hukum secara universal mengakui bahwa dalam kondisi darurat chaos kebutuhan tindakan preventive force adalah lawful dan legitimatif untuk mencegah dampak yang lebih luas terhadap kondisi dan lingkungan yang membahayakan saat itu,” lanjutnya.
Atas kejadian tersebut, ia turut menyampaikan belasungkawa atas musibah yang terjadinya di Stadion Kanjuruhan, Malang Kabupaten, Jawa Timur.
“Kita semua berduka tentang musibah Kematian sekitar 130 orang menjadi tragedi nasional di bidang olah raga, betapa tidak, karena musibah ini baru sekali terjadi pada olahraga Indonesia dan musibah kematian no 2 di dunia pada olahraga sepakbola,” pungkasnya.