Opsinews.com – Wakapolda Bali Brigjen Pol Drs I Wayan Sunartha membuka acara Regional Counterterrorism Course di Grand Hyatt Bali, Nusa Dua, Senin (13/01/20).
Dalam acara tersebut Wakapolda didampingi Dir Krimum Polda Bali Kombes Pol Andi Fairan SIK, MSM, Dir Krimsus Polda Bali Kombes Pol. Yuliar Kus Nugroho SIK, MH, Dir Binmas Polda Bali Kombes Pol Komang Suartana SH, SIK, Kabidkum Polda Bali Kombes Pol Mochamad Khozin SIK, SH, MH, dan Kabid Humas polda Bali Kombes Pol Syamsi SH.
Dalam sambutannya Kapolda Bali, Wakapolda mengucapkan selamat datang kepada seluruh delegasi dari institusi masing-masing negara peserta yaitu Indonesia, Malaysia dan Philipina.
“Selamat datang di pulau dewata ini The Island Of Paradise, The Island Of Tolerance and Love. Merupakan suatu kehormatan besar bagi saya untuk menyambut para hadirin sekalian pada acara regional counterterrorism course,” ungkapnya.
Dikatakan Wakapolda bahwa dengan seiring perkembangan industri 4.0 (four point o) belakangan ini telah mendorong berkembangnya teknologi dan informasi hingga akhirnya membawa pada era baru yang dikenal dengan era digital.
“Salah satu hal yang ditawarkan dalam era digital ini adalah kemudahan komunikasi melalui jaringan internet atau yang biasa disebut dengan cyberspace. Komunikasi yang dilakukan di dalam cyberspace membuat komunikasi individu relative anonym, cepat dan menembus batas hingga mencapai tataran tanpa batas,” jelasnya.
Sambung Wakapolda, manfaat perkembangan internet sangat luar biasa, dimulai dengan keunikan cara untuk membagikan informasi maupun ide. namun teknologinya juga dimanfaatkan oleh teroris untuk kepentingan mereka.
“Dalam buku saya invasi teroris ke cyberspace saya sebutkan bahwa aktivitas terorisme (9p) adalah suatu kegiatan atau serangkaian kegiatan yang terdiri dari propaganda, perekrutan, penyediaan logistik, pelatihan, pembentukan paramiliter secara melawan hukum, perencanaan, pelaksanaan serangan teroris, persembunyian dan pendanaan,” ungkapnya.
Dijelaskannya, kegiatan tersebut dilakukan oleh teroris baik secara individu maupun kelompok dengan tujuan mempertahankan atau membangun organisasi terorisme, mempromosikan ideologi terorisme, menyebarkan ketakutan atau teror dan memaksakan mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan.
“Seiring dengan perkembangan teknologi informasi aktivitas terorisme tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi ini,” ungkapnya.
The use of internet for the terrorist purposes tersebut dapat dilihat dari hasil investigasi yang dilakukan terhadap 315 orang tersangka jaringan terorisme selama 2019 dimana mayoritas tersangka berasal dari jaringan teror yang beroperasi melalui media sosial.
“Dari pengungkapan dan pencegahan aksi teror yang telah kita lakukan pada sel-sel jaringan teror yang berasal dari sosial media dan mesengger, terlihat bahwa mereka saat ini tidak butuh adanya metode taklim atau konsolidasi konvensional untuk meradikalisasi seseorang, mereka dapat memanfaatkan,” ungkapnya.